Madu dan Racun di Perguruan Tinggi
Ir.H.Mahmuddin Lubis, pejabat senior di sebuah BUMN saat ini berpenghasilan Rp 53 juta perbulan setelah berdinas selama 21 tahun. Ia adalah jebolan Fakultas Teknik UI.
Ia memiliki sebuah rumah berlantai 2 di atas lahan 2.000 m2 di kawasan Bekasi dan kendaraan Innova..Al Ustaz Drs.H.Hamzah Nasib, jebolan IAIN Medan setelah berdinas 31 tahun di sebuah SMA Negeri di Medan saat ini perbulan berpenghasilan Rp 6,1 juta dan memiliki rumah layak huni di kawasan Simalingkar B Medan. Penghasilan sang guru yang sudah menunaikan ibadah haji itu sudah termasuk tunjangan sertifikasi.
Masih ada lagi segelintir jebolan kampus Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang meraih sukses mendapatkan penghasilan sekitar seratus jutaan rupiah dan mereka adalah yang beruntung bekerja di perusahaan asing.
Penghasilan jebolan PTN itu adalah sebuah contoh kecil, betapa mereka menikmati manisnya madu memegang ijazah PTN di Indonesia. Namun harus diingat, bahwa penghasilan sebesar itu bukanlah gambaran umum penghasilan semua sarjana, sebab menurut pakar statistik Institut Teknologi Surabaya, Kresnayana Yahya, saat ini rata-rata penghasilan orang berijazah S1 yang bekerja selama 5 tahun di Indonesia hanya berkisar US$ 500 atau senilai Rp 4.500.000. Betapa amat menyedihkan. Inilah kenyataan pahit yang ada di republik ini.
Namun lebih menyedihkan lagi, bila dicermati, bahwa dari catatan Bappenas di Indonesia, terdapat sekitar 4,1 juta pengangguran termasuk dalam angka itu pengangguran akademik atau lulusan perguruan tinggi yang tidak bekerja sebanyak lebih dari 2 juta orang. Menurut konsultan Sumber Daya Manusia, Aditya Sudarto, kenyataan ini merupakan tantangan terbesar buat para mahasiswa saat ini dan kedepan, sebab persaingan di dunia kerja yang semakin tinggi dari hari kehari. Di sisi lain mahasiswa diharapkan pada sebuah dilemma,bahwa mereka tidak mungkin mendapatkan pengetahuan yang cukup mengenai dunia kerja Lulus dan diwisuda belum tentu segera mendapatkan pekerjaan, bahkan bisa-bisa selama bertahun-tahun menganggur. Dua juta lulusan perguruan tinggi mengalami stres karena menunggu kesempatan kerja.
Hanya yang Mampu Kuliah di PTN
Beberapa Peguruan Tinggi Negeri mematok Biaya Pendidikan Dimuka (BPM) antara 50 hingga 100 juta rupiah. Rektor Universitas Padjajaran, Ganjar Kurnia, mengakui bahwa biaya Sumbangan Pengembangan Pendididkan (SPP) untuk Fakultas Kedokteran untuk jalur Seleksi Masuk Unpad (SMUP) mencapai 100 juta rupiah, untuk Fakultas Ilmu Komunikasi 40 juta rupiah. Keponakan penulis yang masuk Fakultas Kedokteran Gigi tahun Akademi 2010-2011 diharuskan melunasi biaya kuliah sebesar Rp. 65 juta. Bahkan sebuah PTN di Surabaya mematok tarif Rp.175 juta untuk masuk Fakultas Kedokteran Umum.
Mahalnya biaya kuliah di PTN, akan membawa efek yang sangat buruk bagi masyarakat kelas bawah. Tidak mungkin pegawai negeri golongan II/B mendapatkan uang sebanyak itu untuk anaknya yang akan kuliah di PTN. Mungkin saja sang pegawai bisa memperoleh kredit dari bank untuk jangka lima tahun, tapi sang pegawai harus berpikir tujuh keliling, nafkah keluarga kalau gaji harus dipotong tiap bulan, sementara bunga kredit terbilang tinggi.
Tingginya biaya kuliah di PTN saat ini menimbulkan gambaran, bahwa PTN bukanlah toko penjual barang murahan seperti teri dan kacang goreng, tapi sebuah toko barang antik bernilai tinggi. Para mahasiswa dari keluarga kurang mampu jangan berharap mendapatkan bea siswa. Sebab pemerintah sudah mengambil keputusan final, bahwa PTN harus memberikan bea siswa 20 persen. Tapi beasiswa ini bukan untuk mahasiswa dari keluarga miskin, namun untuk mahasiswa berprestasi. Padahal saat ini biaya kuliah di PTN dari tahun ke tahun melambung tinggi, dan biaya yang harus dibayar tidak hanya SPP, tapi juga biaya praktikum, buku-buku, laboratorium dan penginapan.
Kenyataannya satu dasa warsa yang lalu dulu biaya kuliah di PTN hanya berkisar 250 atau 500 ribu rupiah pertahun. Sekarang tiap mahasiswa, terutama mahasiswa baru harus menyediakan dana puluhan juta rupiah. Sekarang kuliah di PTS justru jauh lebih murah dan ringan,tinggal pilih mau kuliah di mana, di PTS yang berbobot seperti Universitas Islam Indonesia (UII) Yogya, Unisba Bandung atau Trisakti Jakarta dan lain-lain.Atau kuliah di Universitas Kelas Gurem.
Tidak hanya biaya kuliah di PTN yang terus membengkak, namun dari segi mutu, Indonesia belum bisa mengimbangi negara lain. Harian Kompas baru-baru ini menurunkan tulisan tentang Indikator Human Development Index (HDI) tentang peningkatan mutu pendidikan di Indonesia yang menduduki urutan ke 111 sementara Malaysia diurutan 66. Indonesia masih dibawah negara Asean lainnya maupun Suriname di urutan 97 dan Palestina diurutan 109
Kuliah di Universitas Kelas Gurem
Apa boleh buat, ketiadaan biaya menyebabkan anak-anak yang tidak mampu harus kuliah di Perguruan Tinggi swasta kelas gurem. Saat ini PTS kelas gurem sudah sangat menjamur, hingga ke kota-kota kecil seperti Binjei, P.Siantar, Tebing Tinggi, Kisaran, P. Sidempuan dan R.Prapat.
Demikian juga halnya di Medan, kampus-kampus berbagai PTS maupun sekolah tinggi bermunculan di sudut-sudut kota dengan iming-iming tamat langsung kerja. Tidak luput di sekitar terminal bis, di balik kios-kios barang loak, juga terdapat sebuah perguruan tinggi swasta dengan biaya hanya Rp 1,2 juta pertahun dan dapat dicicil selama 12 bulan. Ini artinya lebih murah dari biaya di SMA yang pertahun bisa mencapai Rp 2,4 juta, bahkan lebih.
3.016 Perguran Tinggi di Indonesia
Kopertis Wilayah I Prof. Zainuddin MPd, mengungkapkan, di seluruh Indonesia terdapat 3.016 PTN/PTS. 2.900 diantaranya adalah perguruan tinggi swasta yang tersebar hingga ke pelosok tanah air. Jumlah dosen diperkirakan sekitar 2.500 orang, 45 persen di antara dosen itu lulusan S2 dan S3 selebihnya 55 persen masih berijazah S1. Sementara untuk dosen diharuskan memiliki paling rendah adalah S2, sesuai dengan UU no.14 tahun 2005. Di tahun 2014 dosen S1 tidak diperkenankan lagi menjadi staf pengajar di Perguruan Tinggi.
Khusus di Kopertis Wilayah I terdapat 327 PTS dengan tenaga pengajar sebanyak 4.700 dosen dan mahasiswa bejumlah 160.000 orang. Dari sekian banyak PTN/PTS, dipastikan setiap tahunnya akan menghasilkan sarjana puluhan ribu. Kemana mereka akan mendapatkan peluang kerja, sementara pertumbuhan ekonomi kita masih terbilang jalan di tempat sehingga peluang kerja tetap saja sempit yang akhirnya akan menambah jumlah pengangguran akademik alias sarjana menganggur.
Racun di Perguruan Tinggi.
Tidak dapat dibantah bahwa saat ini ijazah palsu dan skripsi jiplakan sudah meracuni kemurnian dunia Perguruan Ting gi di negeri kita. Sudah sering menjadi berita hangat di media tentang pejabat maupun calon pejabat yang menggunakan ijazah palsu untuk meraih jabatan. Di Sumatera Utara sendiri hal seperti itu sudah lama menjadi isu paling hangat. Bahkan pencalonan yang bersangkutan sebagai pejabat akhirnya gugur karena isu ijazah palsu.
Apalagi saat ini banyak perusahaan swasta non bonafide memasang iklan di media yang membutuhkan tenaga karyawan dengan persyaratan berijazah S1. Pelamarpun menggebu-gebu mengajukan permohonan dan menempuh jalan pintas mendapatkan ijazah palsu dengan tarip ijazah D3 Rp 3 juta, S1 Rp 5 juta dan S2 Rp 8 juta.
Download Soal dan Pembahasan
Download Soal-soal UN 2010
Download Pembahasan Soal UN 2010
Download Soal-soal SNMPTN 2010
Download Pembahasan Soal Snmptn 2010
Download Latihan Soal
Download Latihan Soal UN SMA / MA 2011
Download Latihan Soal UN SMP / MTs 2011
Download Latihan Soal UASBN SD / MI 2011
Download Latihan Soal UN SMK 2011
Download Latihan Soal SNMPTN 2011
Memang perusahaaan swas ta,terutama yang non bonafide sangat kurang jeli meneliti ijazah yang dimiliki sang pelamar sehingga amat mudah menerima sang pelamar sebagai karyawan. Demikian juga pegawai negeri yang ingin meningkatkan jenjang karirnya menempuh jalan pintas. Bahkan disinyalir banyak perguruan tinggi yang sembarang waktu bisa menerbitkan ijazah palsu. Bila tidak jeli mengamati ijazah palsu pasti akan terkecoh, karena sangat mirip dengan aslinya, menggunakan stempel hologram, huruf timbul, bentuk tulisan hingga tanda tangan rektor yang mirip aslinya.
Satu hal lagi yang sedang merebak di dunia Perguruan Tinggi dan menjadikan racun adalah kasus jiplakan skripsi. Banyak cara untuk menjiplak skripsi dan salah satu adalah dengan cara membeli duplikat skripsi calon sarjana dari Perguruan Tinggi lain dan menjadikannya karya sendiri. Ada lagi dengan cara membeli skripsi di pasar loak dan menjadikannya sebagai sumber inspirasi. Namun yang banyak dilakukan mahasiswa calon sarjana adalah dengan cara memberi order kepada orang dalam di fakultasnya untuk menyusun skripsi dengan imbalan uang tertentu.
Yang sangat ditunggu saat ini adalah tugas Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi yang dinilai banyak kalangan bekerja sangat lamban bekerja. Dari 3.016 PTN/PTS baru 78 institusi perguruan tinggi yang rampung ditangani oleh badan ini. Hal ini sangat merugikan pihak perguruan tinggi maupun mahasiswa karena Akreditasi menjadi ukuran mutu pendidikan tinggi. ***
Oleh : Maulana Syamsuri
(novelis/sastrawan)
Artikel Terkait
Posted in Artikel Pendidikan, SNMPTN 2011