Biaya Pendidikan

UU BHP menempatkan satuan pendidikan sebagai subjek hukum yang memiliki otonomi luas, akademik maupun non akademik, tanpa khawatir lagi dengan kooptasi birokrasi. Otonomi yang diberikan dikunci oleh Undang-Undang BHP harus dilandasi oleh prinsip-prinsip seperti nirlaba, akuntabilitas, transparan, jaminan mutu dan seterusnya yang memastikan tidak boleh ada komersialisasi dalam BHP. BHP memastikan bahwa komitmen pemerintah untuk membantu lembaga pendidikan tidak pernah berkurang bahkan bertambah besar.
Namun dibalik idealisme dan tujuan Undang-Undang BHP itu dibuat, muncul kritik-kritik dari beberapa kalangan yang mengatakan bahwa BHP adalah sebuah produk undang-undang yang digerakkan oleh mitos otonomi. BHP tidak lebih dari sebuah bentuk lepas tangan Negara atas pembiayaan pendidikan nasional. Lembaga Pendidikan akan mengarah pada tujuan pragmatis komersil ketimbang pada tujuan kritis dan blok histories yang mencerdaskan bangsa dan melahirkan putra-putra terbaik yang bisa membaca tanda-tanda zaman. Pada akhirnya BHP melegasisasi suatu kesempatan kepada satuan pendidikan untuk memberi peluang bagi calon mahasiswa berkapasitas intelegensia rendah untuk mengambil kursi mahasiswa lain yang berkualitas tinggi jika mampu memberi imbalan tertentu.

Itu adalah wacana pemikiran yang lazim dalam sebuah Negara demokratis. Pembentukan Undang-Undang BHP ini adalah merupakan amanah dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 pasal 53 ayat (1) bahwa “penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum”. Pembentukan BHP ini adalah merupakan bentuk koreksi atas pelaksanaan BHMN yang telah berjalan selama ini dan bukan replika dari BHMN.

Undang-Undang BHP menempatkan satuan pendidikan bukan sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Departemen Pendidikan Nasional, tapi sebagai suatu unit yang otonom. Rantai birokrasi diputus habis diserahkan ke dalam organ badan hukum pendidikan yang menjalankan fungsi badan hukum: penentuan kebijakan umum dan pengelolaan pendidikan. Misalnya di dalam satuan pendidikan perguruan tinggi, praktek selama ini bahwa untuk memilih seorang rektor harus melewati tujuh lapis birokrasi (tingkat senat, Dirjen Dikti, Inspektora Jenderal, Sekjen Depdiknas, Menteri Pendidikan Nasional, Tim penilai akhir Sekretariat Negara dan akhirnya sampai ke Presiden). Saat ini, dengan BHP hal itu tidak lagi terjadi, rektor dipilih dan ditetapkan oleh organ representasi pemangku kepentingan.

UU BHP menjamin bahwa peserta didik hanya membayar biaya pendidikan paling banyak 1/3 dari biaya operasional satu satuan pendidikan, bukan biaya investasi. Selama ini satuan pendidikan sangat tergantung dari pendanaan dari peserta didik bahkan sampai sembilan puluh persen. Saat ini, BHP membatasi menjadi 1/3 maksimal dari biaya operasional. Ini adalah jaminan Undang-Undang BHP bahwa kenaikan SPP seperti yang banyak dikhawatirkan rasanya tidak mungkin terjadi.

UU BHP menjamin secara khusus warga negara Indonesia yang tidak mampu secara ekonomi tapi berpotensi secara akademik, terutama yang ada di quintil lima termiskin, dimana sampai saat ini hanya 3 Persen dari kategori ini yang menikmati pendidikan tinggi. Satuan Pendidikan BHP wajib menjaring dan menerima warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu paling sedikit 20 persen dari keseluruhan peserta didik yang baru. Satuan Pendidikan BHP harus menunjukkan kepada publik bahwa mereka menerima dan menyediakan paling sedikti 20 persen beasiswa atau bantuan biaya pendidikan untuk mereka yang kurang mampu dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademiki tinggi.

Undang-Undang BHP mengikat tanggungjawab pemerintah dalam pendanaan pendidikan. Misalnya Pemerintah menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHPP dan BHPPD dalam menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional, investasi, beasiswa dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik. Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi. menurut Dirjen Dikti, dr. Fasli Jalal, Ph.D dalam konferensi Pers (18/12) justru pemerintah yang akan pontang-panting mencarikan dana untuk tanggung jawab yang sangat besar ini.

Sebagai badan hukum, satuan pendidikan memiliki wewenang hukum untuk melakukan tindakan hukum dan konsekwensi hukum atas penggunaan hak itu. Pasal 63 menyebutkan “ setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1), pasal 38 ayat (3), dan pasal 39 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun da dapat ditambah dengan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 4 ayat (1), pasal 38 ayat (3) da pasal 39 adalah pasal yang mengatakan bahwa pendidikan itu adalah nirlaba, seluruh sisa dari hasil usaha dari kegiatan BHP harus ditanamkan kembali ke dalam BHP untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan.

Pendidikan Tidak Boleh Dikomersilkan
Mantan rektor Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya yang kini menjabat Mendiknas Prof. Muhammad Nuh pernah mengatakan, definisi komersialisasi adalah menangguk keuntungan dan hasilnya dikembalikan kepada pemilik modal. ”Di UU BHP, jelas ditegaskan bahwa satuan pendidikan itu nirlaba, bukan profit oriented,” katanya.

Kalaupun BHP itu memperoleh pendapatan besar dan cepat, Nuh mengatakan, dana tersebut bukan dibagi, tapi untuk investasi peningkatan kualitas pendidikan. ”Komersialisasi pendidikan memang tidak boleh.”Pemerintah, kata Nuh, tak lepas tangan dalam membiayai pendidikan. Sebab, 20 persen APBN dan APBD sudah dialokasikan untuk pendidikan. Pendidikan dasar sembilan tahun pun sudah digratiskan. Tapi, untuk pendidikan menengah dan tinggi, pemerintah tak mungkin menanggung seluruhnya, sementara kemampuan perguruan tinggi juga terbatas.

Alhasil, kata Nuh, untuk pendidikan menengah dan tinggi, ”Biaya harus ditanggung bersama. Ada sharing. Tapi, tidak pukul rata. Tidak adil kalau kaya miskin pukul rata. Pemerintah tidak lepas tangan, masyarakat tak boleh andalkan gratisan, dan perguruan tinggi dituntut lebih cerdas mengelola resources.”

Seperti diberitakan sebelumnya, UU BHP menuai penolakan, antara lain, karena membebankan sepertiga biaya operasional pendidikan (BOP) di perguruan tinggi kepada mahasiswa. Rektor ITS, Priyo Suprobo, menyatakan, ITS tak siap menerapkan UU BHP. Sebabnya, bila sepertiga BOP dibebankan kepada mahasiswa, biaya kuliah akan mahal.

Sebagai perbandingan, Rektor Universitas Indonesia (UI), Gumilar Rusliwa Somantri, menyatakan, BOP UI adalah Rp 1,5 triliun per tahun. Dengan demikian, sepertiganya adalah Rp 500 miliar. Bila jumlah mahasiswa UI adalah 10 ribu orang, rata-rata setiap mahasiswa UI harus menanggung Rp 50 juta per tahun.Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Sarjana Pendidikan, Sudijarto, mengatakan, Pasal 31 UUD 1945 telah mengadopsi sistem yang dianut di negara-negara sejahtera, seperti Eropa dan Amerika. Yaitu, pendidikan dibiayai pemerintah.

Memang, kata Sudijarto, hanya Jerman dan negara Skandinavia yang sekarang masih menggratiskan biaya pendidikan. Adapun AS dan Inggris yang dulu gratis, sekarang juga memungut biaya dari mahasiswa. ”Tapi, di Amerika, hanya 14 persen biaya universitas negeri yang ditanggung mahasiswa, sedangkan universitas swasta 40 persen,” sebut dia. Itu pun besaran biaya pendidikan ditentukan oleh parlemen dan bukan oleh universitas masing-masing.

Prioritas Anggaran Pendidikan 20 Persen
Depdiknas sejak kepemimpinan Bambang Sudibyo berkomitmen untuk memprioritaskan penggunaan anggaran sebanyak 20 persen dari APBN bidang pendidikan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen, menuntaskan wajib belajar 9 tahun dengan kualitas yang lebih baik, murah, dan terjangkau, akses mutu dan relevansi pendidikan menengah dan pendidikan tinggi yang lebih baik, serta mutu dan relevansi penelitian yang lebih baik.

Kemudian para peraih medali pada olimpiade matematika sain dan teknologi tingkat internasional mendapatkan jaminan melanjutkan pendidikan di manapun dengan beasiswa pemerintah. Lalu pendidikan nonformal yang lebih baik dan penguatan tata kelola.

Penuntasan program wajib belajar pendidikan sembilan tahun akan dikhususkan bagi daerah yang kinerja pendidikannya masih tertinggal. Pada tingkat nasional, target wajib belajar yang diukur dengan angka partisipasi kasar tingkat SMP/MTs sudah tercapai yakni 95 persen. Beberapa provinsi sudah bisa memenuhi dan hampir separuh dari kabupaten kota juga sudah memenuhi, tetapi masih cukup banyak kabupaten yang belum bisa memenuhi 95 persen meskipun pada tingkat provinsinya sudah tuntas.

Terobosan kebijakan pendidikan yang bersifat masal dan mendasar diantaranya adalah program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) serta peningkatan kompetensi, kualifikasi, dan sertifikasi guru. Dalam hal ini Pemerintah Pusat setiap tahunnya mengalokasikan anggaran yang cukup besar untuk membantu para guru itu mendapatkan S1-nya.

Program selanjutnya adalah penerapan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk e-pembelajaran dan e-administrasi. Pendidikan yang berbasis komputer dan internet ini sudah dimulai terutama pada pendidikan menengah.

Pemerintah juga akan melakukan pembangunan prasarana dan sarana pendidikan seperti laboratorium, ruang-ruang kelas baru, perpustakaaan, dan melakukan reformasi perbukuan. Selain itu, pemerintah, akan melakukan pendekatan mutu relevansi dan daya saing pendidikan dengan pendekatan komprehensif, serta penguatan tata kelola dan perluasan pendidikan nonformal untuk mengemban layanan pada peserta didik yang tidak terjangkau pendidikan formal.

Artikel Terkait

Tags:

Posted in Biaya Pendidikan



Leave a Reply