Bahasa Indonesia (Bukan) Bahasa Gaul
Memasuki jurusan sastra Indonesia adalah hal yang menyenangkan sekaligus menjadi dilema bagi saya. Betapa tidak. Mempelajari kaidah yang benar dalam pemakaian bahasa Indonesia berbenturan dengan pola yang selama ini saya atau kebanyakan orang pakai dalam bahasa pergaulan.
Saat mengetik sms atau meng-update status di facebook. Lebih naas lagi saat berbicara, bahasa Indonesia diracuni bahasa gaul yang katanya beken bagi generasi sekarang.
Inilah dilema itu. Jika saya mengikuti gaya bahasa anak muda jaman sekarang maka saya merasa menghianati kebenaran berbahasa yang saya pelajari di kampus. Sementara jika saya tidak mengikuti gaya bahasa tersebut malah saya mendapat julukan ‘gak gaul’.
Sudah menjadi fenomena bahwa banyak orang berlomba mencari daftar istilah gaul bahkan membuat sendiri kata baru yang akan dipopulerkan dalam pergaulan. Misalkan saja kata ‘ko’ dan ‘geblek’ digunakan sebagai pengganti kata ‘kau’ dan ‘goblok’. Seolah dengan memakai kata ‘geblek’ maknanya lantas berubah jadi lebih halus dan biasa tanpa mengandung unsur penghinaan. Dan kata-kata yang seperti ini sudah sangat popular dalam pergaulan jaman sekarang.
Memang setiap bahasa memiliki jenis ke-gaul-annya sendiri. Akan tetapi bahasa gaul kerap kali merusak makna, pelafalan dan pengejaan dari sebuah kata. Namun demikian pun banyak orang yang tidak peduli dengan itu. Sepertinya dengan bahasa mereka dapat mencitrakan diri seseorang menjadi anak gaul atau orang berpendidikan.
Ketinggalan Jaman
Aneh betul. Di Indonesia ini kita sering melihat orang yang kurang bangga dalam menggunakan bahasa Indonesia. Presiden dan para pejabat misalnya, juga menyampaikan pidatonya dengan menggunakan bahasa Inggris. Apalagi kita terlalu sering memakai istilah dari bahasa asing ketimbang istilah dari bahasa Indonesia. Bahasa Inggris dan Hokien seolah menjadi bahasa yang ekslusif di negara kita ini.
Demikian halnya dengan rintisan sekolah berstandar Internasional (RSBI), berlomba-lomba agar secara keseluruhan kegiatan menulis dan berbicara menggunakan bahasanya Ratu Elisabeth. Kepala sekolah dan guru akan sangat bangga jika seluruh percakapan di sekolah tersebut sudah menggunakan bahasa Inggris. Menunjukkan keberhasilan, demikian ungkapan pemilik sekolah.
Saya bertanya pada diri sendiri, bagaimana jika sepuluh tahun ke depan anak-anak sudah lupa berbahasa Indonesia? Generasi yang manakah lagi yang akan melestarikan bahasa Indonesia?
Andai generasi sekarang tengah dilanda sindrom bahasa asing, tinggal menunggu waktu saja bahasa Indonesia hanya akan jadi kepunyaan orang-orang tak berpendidikan. Seakan penggunaan bahasa asing ditujukan pada orang yang lebih baik latar belakang pendidikannya. Tak jarang bahasa asing dijadikan sebagai ajang unjuk diri.
Bahasa Menunjukkan Identitas
Bahasa adalah media komunikasi antara mahkluk hidup. Bagi manusia bahasa selain dijadikan sarana berkomunikasi juga menunjukkan indentitas diri. Bangsa Indonesia secara jelas menyatakan bahasa Indonesia sebagai pemersatu yang menunjukkan identitas penggunanya adalah bangsa Indonesia, seperti yang diamanatkan dalam rumusan sumpah pemuda.
Jika bahasa Indonesia adalah alat pemersatu bagi negara ini, maka setiap orang yang mengaku bangsa Indonesia seharusnya bangga menggunakan bahasa itu. Namun kenyataan berbicara lain, pada masa sekarang ini banyak orang yang sudah melupakan keindahan berbahasa Indonesia. Menganggap bahasa asing sebagai bahasa kaum terpelajar.
Mari belajar dari negara Jepang. Tonggak modernisasi di Jepang berhasil tidak hanya karena restorasi Meiji 1868, tetapi lebih pada kekuatan budaya dan kecintaan terhadap bahasa Jepang. Itulah yang menjadi kekuatan Jepang dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam arus modernisasi. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Di Indonesia justru terlihat sikap sesuka hati menggunakan bahasa Indonesia.
Bangga Berbahasa Indonesia
Bagaimana mungkin generasi sekarang dapat membela bangsa dan mengembangkan bahasa Indonesia jika tidak berbahasa dengan baik dan benar sejak dari sekarang, dimulai dari kehidupan sehari-hari. Lalu bagaimana agar kita tetap bangga berbahasa Indonesia?
Ada beberapa upaya yang dapat kita lakukan. Salah satunya dengan membangun generasi yang menghargai bahasa Indonesia dan tidak melanjutkan kerusakan dalam pemakaian bahasa pergaulan. Terutama dalam berkomunikasi dengan orang lain melalui sms dan melalui jejaring sosial lain seperti facebook dan twitter. Seseorang tidak akan dijauhi hanya karena dia menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tidak harus kaku dalam berbahasa, tetapi juga jangan sampai merusak makna sebuah kata.
Selanjutnya sekalipun kita sudah terbiasa menggunakan istilah asing, alangkah lebih baik jika kita meninggalkan istilah asing itu dan segera mencari padanan istilah tersebut dalam bahasa Indonesia. Tidak akan merubah makna yang akan disampaikan justru semakin mempopulerkan istilah dalam bahasa Indonesia itu sendiri. Jangan takut dianggap tidak gaul karena meminimalisir penggunaan istilah asing dalam komunikasi kita dengan orang lain.
Download Soal dan Pembahasan
Download Soal-soal UN 2010
Download Pembahasan Soal UN 2010
Download Soal-soal SNMPTN 2010
Download Pembahasan Soal Snmptn 2010
Download Latihan Soal
Download Latihan Soal UN SMA / MA 2011
Download Latihan Soal UN SMP / MTs 2011
Download Latihan Soal UASBN SD / MI 2011
Download Latihan Soal UN SMK 2011
Download Latihan Soal SNMPTN 2011
cpns.html”>Download Latihan Soal Tes Bakat Skolastik
Kemudian, tampillah dengan bahasa Indonesia saat menghadiri pertemuan-pertemuan formal atau bahkan saat berpidato di depan umum. Jangan sampai kita alergi berbahasa Indonesia di depan orang asing. Apakah dengan berbahasa Indonesia derajat keilmuan seseorang lantas menjadi berkurang? Justru kita semakin menunjukkan identitas kita melalui bahasa.
Penguasaan bahasa asing memang penting, tetapi bukan berarti kita meninggalkan bahasa Indonesia sebagai milik generasi sebelum kita. Bangsa yang besar bukan hanya menghargai sejarahnya tetapi juga bangga menggunakan bahasanya sendiri. Bahasa Indonesia dapat menjadi bahasa pergaulan dengan tidak merusak dan mengurangi kekayaan bahasa itu sendiri. ***
Oleh : Hotma Lam Uli Marbun (Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia UNIMED dan anggota Perkamen Medan)
Artikel Terkait
Posted in bahasa indonesia